Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mengapa Data Kemiskinan Indonesia Versi Bank Dunia dan BPS Berbeda? Ini Penjelasannya!

Halo UPreader! πŸ‘‹ Apakah kamu sempat terkejut saat membaca berita bahwa lebih dari 60% penduduk Indonesia disebut tergolong miskin menurut laporan terbaru Bank Dunia? Di saat yang bersamaan, data resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa tingkat kemiskinan hanya 8,57%. Wah, kenapa perbedaannya bisa sejauh itu, ya?



Tenang UPreader, kali ini Mimin UPtosave akan membedahnya secara tuntas, supaya kamu bisa memahami konteks sebenarnya dari perbedaan data ini. Yuk kita bahas dengan tuntas dalam artikel ini! 🧐


πŸ“Š Apa yang Dimaksud dengan “Penduduk Miskin”?

Sebelum membahas lebih jauh soal datanya, kita perlu sepakat dulu: apa sih arti dari “miskin”? Menariknya, definisi miskin bisa berbeda tergantung dari siapa yang membuatnya, untuk tujuan apa, dan dengan pendekatan seperti apa.

Secara umum, seseorang disebut miskin jika penghasilannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan pokok lainnya.

Namun, standar atau ukuran dari “cukup” itu sendiri sangat subjektif dan bisa berbeda antarnegara, bahkan antarinstansi.


🌐 Versi Bank Dunia: Kemiskinan Berdasarkan Standar Global

Bank Dunia (World Bank) menggunakan pendekatan garis kemiskinan global berdasarkan daya beli masyarakat (Purchasing Power Parity/PPP). Mereka mengelompokkan garis kemiskinan menjadi tiga tingkatan:

  1. US$ 2,15 PPP per kapita per hari → untuk negara berpendapatan rendah (kemiskinan ekstrem)

  2. US$ 3,65 PPP per kapita per hari → untuk negara menengah bawah

  3. US$ 6,85 PPP per kapita per hari → untuk negara menengah atas (seperti Indonesia saat ini)

Dengan posisi Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah atas (upper-middle income country) pada tahun 2024, Bank Dunia menerapkan standar garis kemiskinan US$ 6,85 PPP per hari.

πŸ‘‰ Nah, jika dikonversikan, US$ 6,85 PPP = Rp5.993,03 per hari atau sekitar Rp179.790 per bulan per kapita.

Dari sinilah muncul data bahwa sekitar 60,3% atau 171,8 juta penduduk Indonesia tergolong miskin menurut standar global tersebut.


πŸ“‰ Versi BPS: Kemiskinan Berdasarkan Kebutuhan Dasar

Sementara itu, BPS menggunakan metode Cost of Basic Needs (CBN), yaitu pendekatan berdasarkan kebutuhan dasar nyata masyarakat Indonesia. Dalam hal ini, garis kemiskinan ditentukan dari dua komponen utama:

  1. Kebutuhan makanan: minimal 2.100 kilokalori per orang per hari, seperti beras, telur, tahu, sayur, minyak, dsb.

  2. Kebutuhan non-makanan: mencakup tempat tinggal, pendidikan, transportasi, pakaian, dan kesehatan.

Data ini dikumpulkan dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dua kali setahun, dengan cakupan puluhan ribu rumah tangga di seluruh Indonesia.

πŸ‘‰ Hasil dari pendekatan ini menyebutkan bahwa tingkat kemiskinan per September 2024 adalah 8,57%, atau sekitar 24,06 juta jiwa.


πŸ“Œ Mengapa Angka dari Bank Dunia dan BPS Bisa Sangat Berbeda?

Jawaban sederhananya: karena berbeda pendekatan, standar, dan tujuan.

  • Bank Dunia menggunakan standar internasional untuk membandingkan antarnegara.

  • BPS menggunakan standar nasional yang mencerminkan kondisi lokal, kebiasaan konsumsi masyarakat Indonesia, dan harga-harga aktual di setiap wilayah.

Bisa dikatakan, standar Bank Dunia lebih cocok untuk perbandingan global, sementara BPS memberikan cerminan nyata kondisi ekonomi masyarakat Indonesia.


🧠 Fakta Menarik Lainnya Tentang Data Kemiskinan Indonesia

  1. Garis kemiskinan nasional per kapita pada September 2024: Rp595.242 per bulan

  2. Rata-rata rumah tangga miskin: terdiri dari 4,71 orang

  3. Garis kemiskinan per rumah tangga secara nasional: Rp2.803.590 per bulan

  4. Contoh regional:

    • Jakarta: Rp4.238.886

    • NTT: Rp3.102.215

    • Lampung: Rp2.821.375

Perbedaan ini muncul karena adanya variasi harga, pola konsumsi, dan standar hidup antarwilayah.


πŸ”Ž Perlu Kehati-Hatian dalam Menyikapi Angka

UPreader perlu memahami bahwa angka kemiskinan, baik versi Bank Dunia maupun BPS, tidak selalu mencerminkan kondisi satu individu secara spesifik. Angka-angka tersebut adalah hasil rata-rata yang digunakan untuk menyusun kebijakan dan gambaran makro.

Sebagai contoh, di DKI Jakarta, garis kemiskinan per kapita adalah Rp846.085. Namun, dalam praktiknya, konsumsi terjadi dalam unit rumah tangga. Maka yang relevan adalah garis kemiskinan rumah tangga: Rp4.230.425 per bulan.


πŸ“ˆ Apa Dampak dari Perbedaan Data Ini?

Perbedaan data bisa berdampak pada:

  1. Penilaian global terhadap ekonomi Indonesia

  2. Kebijakan pengentasan kemiskinan nasional

  3. Opini publik dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah

  4. Arah bantuan dan program sosial dari lembaga internasional

Namun penting ditekankan: tidak ada yang salah dengan data tersebut. Yang perlu adalah pemahaman konteks dan tujuan penggunaannya.


πŸ’‘ Opini Mimin UPtosave: Apa yang Bisa Kita Pelajari?

Sebagai blogger keuangan, Mimin ingin mengajak UPreader untuk tidak sekadar melihat angka, tapi juga memahami metodologi dan maksud di balik data.

Kelebihan Data Bank Dunia:

  • Menyediakan gambaran posisi Indonesia dalam konteks global

  • Cocok untuk analisis lintas negara

  • Menekankan pentingnya peningkatan daya beli masyarakat

Kekurangan Data Bank Dunia:

  • Tidak mempertimbangkan kondisi sosial-ekonomi lokal

  • Bisa menimbulkan persepsi negatif jika disalahartikan

Kelebihan Data BPS:

  • Lebih kontekstual dan relevan untuk kebijakan nasional

  • Memperhatikan kebutuhan dasar riil masyarakat Indonesia

Kekurangan Data BPS:

  • Kurang cocok untuk perbandingan global

  • Seringkali dipersepsikan "meremehkan" tingkat kemiskinan


🎯 Penutup: Bijaklah Menyikapi Data

UPreader, baik data dari Bank Dunia maupun BPS sebetulnya saling melengkapi. Keduanya penting dan memiliki kegunaan masing-masing. Tugas kita adalah memahami konteksnya, bukan saling menyalahkan atau membuat kesimpulan tergesa-gesa.

Data adalah alat bantu untuk membentuk kebijakan yang lebih baik dan menilai sejauh mana keadilan sosial dan kesejahteraan ekonomi dapat tercapai di negeri ini.

Tetap bijak, tetap kritis, dan tetap semangat membangun literasi finansial ya! Sampai jumpa di artikel UPtosave berikutnya! πŸ’ΈπŸ“ˆ

Tag/Kata Kunci :
kemiskinan di Indonesia, data kemiskinan BPS, Bank Dunia Indonesia, garis kemiskinan nasional, macro poverty outlook, ekonomi Indonesia, UPreader, pengeluaran rumah tangga, data statistik BPS, kemiskinan ekstrem, analisis ekonomi, perekonomian Indonesia

Sumber: https://www.merdeka.com/uang/data-bank-dunia-catat-60-persen-orang-indonesia-tergolong-miskin-bps-beri-klarifikasi.html